Penulis: Ria M
KabarTokoh.com, Lampung Tengah - Abdul Wachid Hidayat merupakan alumni santri di yayasan Ali Maksum, Pondok Pesantren Desa Krepyak, Yogjakarta. Saat ini ia memiliki kesibukan berdagang buku sekolah dan bonsai. Hampir setiap hari ia kerap bolak-balik kota ke desa dan sebaliknya untuk mengambil dan mengantar pesanan di daerah sekitaran tempat tinggalnya, yaitu di Kabupaten Lampung Tengah.
Siapa sangka, pria yang akrab disapa Pak Wachid tersebut rela melepas jas kebesarannya karena kegiatan barunya demi keinginan untuk hidup mandiri. Abdul wachid sudah 20 tahun menjadi tenaga pendidik Sekolah Dasar, guru mengaji, sekaligus karyawan di pabrik gula putih PT. Sugar Grup, Provinsi Lampung. Ia juga menyandang prestasi sebagai salah satu pendiri yayasan TPQ Asfow Munir di GPM atau PT Sugar grup sejak 1992 sampai sekarang. Meski tak lagi mengajar, yayasan itu masih tetap aktif. Empatinya terhadap kualitas baca Al-Qur'an masyarakat yang belum mumpuni menggerakkan hatinya untuk bisa berperan menuntaskan masyarakat dalam belajar membaca kitab suci Al-Qur'an. Bapak dari 4 anak itupun mengesampingkan gaji besar yang dulu ia terima. Atas keputusannya tersebut, Pak Wachid tak pernah menyesal dengan keputusannya.
Tekad bulat yang sudah digenggam pada akhirnya mampu meyakinkan keluarga yang sempat ragu kala itu. Pak Awchid pun memutuskan pindah ke kampung, tepatnya di kampung Jatidatar Kecamatan Bandar Mataram, Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2009. Tahun 2009 menjadi cikal bakal berdirinya yayasan belajar Quran yang ia dirikan. Laki-laki paruh baya yang supel tersebut memulai langkah kecilnya dengan sistem open house dan menariknya ternyata respon masyarakat sangat baik, bahkan dari kampung sebelahpun turut meramaikan rumahnya saat itu.
Abdul Wachid sangat senang karena antusiasme masyarakat dalam belajar Alquran lebih besar dari sebelumnya. Program yang digaungi Pak Qachid ternyata tak hanya digemari anak-anak tapi juga orangtua. Para orangtua ikut belajar mengenal, menghafal, serta mengamalkan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. Selama mengajar, Pak Wachid didampingi istri dan putri keduanya di rumah. Sementara anak-anak lainnya kini sedang menuntut ilmu di luar daerah. Anak pertama Pak Wachid kuliah di LIPIA, DKI Jakata, sementara anak ketiganya nyantri di sala satu Ponpes di Kota Malang, dan bungsunya mondok di Gresik, Jawa Timur.
Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru tahun 2019 laki-laki kelahiran Bantul, 29 Maret 1970 tersebut mendirikan TK IT Birrul Walidain, namun karena kegigihan dan kejujurannya membangun sekolah pada akhirnya menarik para donatur untuk mendonasikan sebagian rezekinya. Bantuan juga datang dari wali murid, termasuk dari sakunya sendiri. Dari dana-dana yang terkumpul, Abdul Wachid sukses membangun sekolah impiannya yang letaknya tak jauh dari kediamannya.
Setiap sore kelas-kelas digunakan untuk mengaji, sementara paginya untuk kegiatan belajar mengajar siswa TK. Sampai saat ini tidak ada halangan yang berarti baginya, beliaupun masih bersyukur bisa berinvestasi surga, katanya. Meski jika dihitung-hitung pendapatan sangat jauh di bawah gajinya saat bekerja di Sugar Grup, namun ia pantang mengeluh.
"Saya memilih untuk mandiri," pungkasnya.
Dengan mengangkat visi-misi yang baik dan metode belajar mengikuti arus kecanggihan teknologi, ia berharap dapat mempermudah proses belajar anak didiknya. Terbukti, program tamat TK hafal satu juz nampaknya sudah menjadi daya tarik tersendiri sebagai program utama Sekolah Islam Terpadu (IT) yang akan ia lanjutkan sampai setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Kabar baiknya, tahun 2020 Abdul Wachid mulai menerima siswa baru untuk SDIT juga. Bangunan fisik yang masih seadanya tak memupuskan semangatnya untuk menebar ilmu. Perlahan dan telaten ia terus bergerak karena ia percaya niat baik akan berbuah manis kelak. (RM)
Posting Komentar untuk "Abdul Wachid Hidayah, Berhenti Jadi Karyawan Demi Impiannya Mendirikan Sekolah Islam"